Dhandhangan
Dhandhangan atau biasa ditulis (dandangan) merupakan festival yang diadakan di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Tradisi dhandhangan adalah pertandan dimulainya ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Masjid Menara Kudus biasa menjadi pusat keramaian pada acara ini, Menurut tradisi, nama dhandhangan diambil dari suara beduk masjid tersebut saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa. Awalnya, dhandhangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus setiap menjelang Ramadhan untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Selanjutnya, kesempatan ini juga dimanfaatkan parapedagang untuk berjualan di sekitar masjid sehingga akhirnya kini dikenal masyarakat sebagai pasar malam yang ada disetiap mejelang Ramadhan.
Perayaan Dhandhangan
Pada perayaan ini beragam barang dijual dan pada masa kini sering diikutkan berbagai sponsor dari sejumlah industri besar. Meskipun demikian, ada satu mainan yang selalu terkait dengan festival ini. yaitu "Barongan Gembong Kamijoyo". Selain itu, diadakan pula berbagai acara kebudayaan seperti festival rebana dan pawai (kirab).
BULUSAN
Bulusan dapat disebut juga Tradisi Bulusan adalah salah satu peringatan tradisional masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Tradisi Bulusan diadakan tujuh hari sesudah hari raya Idul Fitri. Perayaan tradisi ini berpusat di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo,Kudus. Tradisi ini berasal dari legenda yang berkaitan dengan Sunan Muria yang dikisahkan menegur warga setempat yang masih bekerja pada malam hari walaupun saat itu bulan Ramadhan dan warga tersebut berubah menjadi bulus.
Legenda Bulusan
Mbah Dado seorang alim ulama penyebar agama Islam. Beliau mempunyai
murid bernama Umara dan Umari. Dalam perjalanannya menyebarkan agama
Islam beliau berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka
ditemukanlah tempat yang tepat untuk membangun pesantren tersebut, yaitu
di kaki Gunung Muria. Pada bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Qur'an
datang Sunan Muria untuk bersilaturrahmi dan membaca Al Qur'an bersama
Mbah Dado, sahabatnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria mendengar orang
bekerja di sawah pada malam hari sedang ndaut (mangambil bibit padi).
Suna Muria berhenti sejenak dan berkata, "Lho, malam Nuzulul Qur'an kok
tidak baca Al Qur'an, malah di sawah berendam air seperti bulus
saja?" Akibat perkataan itu Umara dan Umari seketika menjadi bulus.
Datang Mbah Dado untuk memintakan maaf atas kesalahan santrinya kepada Sunan Muria.
Akan tetapi, ibarat nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dapat
kembali lagi. Akhirnya, Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah,
keluar mata air atau sumber sehingga diberilah tempat itu nama Dukuh
Sumber dan tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon tamba
ati. Sambil meninggalkan tempat itu Sunan Muria berkata, "Besok anak
cucu kalian akan menghormatimu setiap satu minggu
setelah hari raya bulan Syawal tepatnya waktu Bada Kupat. sampai
sekarang setiap bada kupat tempat tesebut ramai dikunjungi orang untuk
berziarah dan juga melihat bulus. Tradisi ini sekarang masih ada san
terkenal dengan nama Bulusan.